ang sosok kebudayaan Jawa klasik yang hingga kini terus bergerak menuju kebudayaan Indonesia.
Kata klasik ini berasal dari kata Clacius, yaitu nama orang yang telah berhasil menciptakan karya sastra yang mempunyai “nilai tinggi”. Maka karya sastra yang tinggi nilainya hasil karya Clacius itu dinamakan “Clacici”. Padahal Clacici adalah golongan ningrat/bangsawan, sedangkan Clacius termasuk golongan ningrat, oleh karena itu hasil karya seni yang mempunyai nilai tinggi disebut “seni klasik”.
Bengawan Solo bukan hanya terkenal dengan lagu ciptaan Gesang akan tetapi lebih daripada itu lembahnya terkenal sebagai tempat dimana banyak sekali diketemukan fosil dan peninggalan awal sejarah kehidupan di atas bumi ini.
Pada tahun 1891 Eugene Dubois menemukan sisa-sisa manusia purba yang diberi nama “Phitecanthropus Erectus” di daerah Trinil, Ngawi Karesidenan Madiun.
CONTOH GAMBAR :
Ternyata fosil-fosil itu lebih purba (tua) dan lebih primitif daripada fosil-fosil Neanderthal yang ditemukan di Eropa sebelumnya. Penggalian-penggalian diteruskan hingga pada sekitar tahun 1930-1931 ditemukan lagi fosil manusia di Ngandong dan di Kedungbrubus daerah Sangiran. Fosil ini lebih tua dari yang ditemukan di Jerman maupun di Peking. Berbeda dengan penemuan di bagian dunia lain, penemuan fosil-fosil pulau Jawa didapat pada semua lapisan Pleistoceen dan tidak hanya pada satu lapisan saja. Hingga nampak jelas perkembangan manusia sejak dari bentuk ‘keorangan’nya yang mula-mula (homonide), sedang dari bagian lain di dunia penemuan-penemuan itu tidak memberi gambaran yang sedemikian lengkap. Manusia purba itu diperkirakan hidup dalam kelompok-kelompok kecil bahkan mungkin dalam keluarga-keluarga yang terdiri dari enam shingga duabelas individu. Mereka hidup berburu binatang di sepanjang lembah-lembah sungai. Cara hidup seperti ini agaknya tetap berlangsung selama satu juta tahun. Kemudian diketemukan sisa-sisa artefak yang terdiri dari alat-alat kapak batu di sebuah situs di dekat desa Pacitan, dalam lapisan bumi yang berdasarkan data geologi diperkirakan berumur 800.00 tahun dan diasosiasikan dengan fosil Pithecanthropus yang telah berevolusi lebih jauh. Dengan demikian diperkirakan bahwa sejak paling sedikit 800.000 tahun yang lalu para pemburu di pulau Jawa sudah memiliki suatu kebudayaan.
Manusia dan kebudayaan merupakan suatu kesatuan yang erat sekali. Kedua-duanya tidak mungkin dipisahkan. Ada manusia ada kebudayaan, tidak akan ada kebudayaan jika tidak ada pendukungnya, yaitu manusia. Akan tetapi manusia itu hidupnya tidak berapa lama, ia lalu mati. Maka untuk melangsungkan kebudayaan, pendukungnya harus lebih dari satu orang, bahkan harus lebih dari satu turunan. Jadi harus diteruskan kepada anak cucu keturunan selanjutnya.
Kebudayaan Jawa klasik yang keagungannya diakui oleh dunia internasional dapat dilihat pada sejumlah warisan sejarah yang berupa candi, stupa, bahasa, sastra, kesenian dan adat istiadat. Berikut adalah contoh gambar candi-candi pada masa peninggalan prasejarah.
Candi Borobudur di dekat Magelang :
Candi Mendut, desa Mendut, kabupaten Magelang :
Candi Pawon berada diantara candi Mendut dan Borobudur :
Candi Prambanan di dekat Klaten :
Candi Dieng, kabupaten banjarnegara, Jawa Tengah :
Candi Gedongsongo, desa Candi, kabupaten Semarang, Jawa Tengah :
Candi Sukuh, kabupaten Karang Anyar, Jawa Tengah :
Teks-teks sastra yang terpahat di batu-batu prasasti, tergores di daun lontar dan tertulis di kitab-kitab merupakan khasanah sastra Jawa klasik yang hingga kini tidak habis-habisnya dikaji para ilmuwan. Ada pula warisan kebudayaan yang bermutu tinggi dalam wujud seni tari, seni musik, seni rupa, seni pedalangan,seni bangunan (arsitektur),senibusana,adatistiadat,dsbnya.
Masyarakat Jawa Tengah sebagai ahli waris kebudayaan Jawa klasik bukanlah masyarakat yang homogen atau sewarna, melainkan sebuah masyarakat besar yang mekar dalam keanekaragaman budaya. Hal itu tercermin pada tumbuhnya wilayah-wilayah budaya yang pada pokoknya terdiri atas wilayah budaya Negarigung, wilayah budaya Banyumasan dan wilayah budaya Pesisiran.
Wilayah budaya Negarigung yang mencakup daerah Surakarta – Yogyakarta dan sekitarnya merupakan wilayah budaya yang bergayutan dengan tradisikraton(Surakarta dan Yogyakarta). Wilayah budaya Banyumasan menjangkau daerah Banyumas, Kedu dan Bagelen. Sedangkan wilayah budaya pesisiran meliputi daerah Pantai Utara Jawa Tengah yang memanjang dari Timur ke Barat.
Keragaman budaya tersebut merupakan kondisi dasar yang menguntungkan bagi mekarnya kreatifitas cipta, ras dan karsa yang terwujud pada sikap budaya.
Di daerah Jawa Tengah segala macam bidang seni tumbuh dan berkembang dengan baik, dan hal ini dapat kita saksikan pada peninggalan-peninggalan yang ada sekarang.
Provinsi Jawa Tengah yang merupakan satu dari sepuluh DTW (Daerah Tujuan Wisata) di Indonesia dapat dengan mudah dijangkau dari segala penjuru, baik darat, laut maupun udara. Provinsi ini telah melewati sejarah yang panjang, dari jaman purba hingga sekarang.
Dalam usaha memperkenalkan daerah Jawa Tengah yang kaya budaya dan potensi alamnya, Provinsi Jawa Tengah sebagaimana provinsi-provinsi lain di Indonesia, mempunyai anjungan daerah di Taman Mini “Indonesia Indah” yang juga disebut “Anjungan Jawa Tengah”. Anjungan Jawa Tengah Taman Mini “Indonesia Indah” merupakan “show window” dari daerah Jawa Tengah.
Anjungan Jawa Tengah di Taman Mini “Indonesia Indah” dibangun untuk membawakan wajah budaya dan pembangunan Jawa Tengah pada umunya. Bangunan induk beserta bangunan lain di seputarnya secara keseluruhan merupakan kompleks perumahan yang dinamakan “Padepokan Jawa Tengah”, yang berarsitektur Jawa asli.
Bangunan induknya berupa “Pendopo Agung”, tiruan dari Pendopo Agung Istana Mangkunegaran di Surakarta, yang diakui sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa. Propinsi Jawa Tengah juga terkenal dengan sebutan “The Island of Temples”, karena memang di Jawa Tengah bertebaran candi-candi. Miniatur dari candi Borobudur, Prambanan dan Mendut ditampilkan pula di Padepokan Jawa Tengah. Padepokan Jawa Tengah juga merupakan tempat untuk mengenal seni bangunan Jawa yang tidak hanya berupa bangunan rumah tempat tinggal tetapi juga seni bangunan peninggalan dari jaman Sanjayawangça dan Syailendrawangça.
Pendopo Agung yang berbentuk ”Joglo Trajumas” itu berkesan anggun karena atapnya yang luas dengan ditopang 4 (empat) Soko guru (tiang pokok), 12 (dua belas) Soko Goco dan 20 (dua puluh) Soko Rowo. Kesemuanya membuat penampilan bangunan itu berkesan momot, artinya berkemampuan menampung segala hal, sesuai dengan fungsinya sebagai tempat menerima tamu. Bangunan Pendopo Agung ini masih dihubungkan dengan ruang Pringgitan, yang aslinya sebagai tempat pertunjukan ringgit atau wayang kulit. Pringgitan ini berarsitektur Limas. Bangunan lain adalah bentuk-bentuk rumah adat “Joglo Tajuk Mangkurat”, “Joglo Pangrawit Apitan” dan rumah bercorak “Doro Gepak”.
Sesuai dengan fungsinya Anjungan Jawa Tengah selalu mempergelarkan kesenia-kesenian daerah yang secara tetap didatangkan dari Kabupaten-kabupaten / Kotamadya di Provinsi Jawa Tengah di samping pergelaran kesenian dari sanggar-sanggar yang ada di Ibukota, dengan tidak meninggalkan keadiluhungan nilai-nilai budaya Jawa yang hingga kini masih tampak mewarnai berbagai aspek seni budaya itu sendiri, adat-istiadat dan tata cara kehidupan masyarakat Jawa Tengah.
Bangunan Joglo Pangrawit Apitan di Anjungan Jawa Tengah TMII terletak bersebelahan dengan sebuah panggung terbuka yang berlatar belakang sebuah bukit dengan bangunan Makara terbuat dari batu cadas hitam bertuliskan kata-kata “Ojo Dumeh” dalam huruf Jawa berukuran besar. Perkataan Ojo Dumeh mempunyai makna yang dalam, sebab artinya, “Jangan Sombong”, sebuah anjuran untuk senantiasa mampu mengendalikan diri, justru di saat seseorang merasa mempunyai keberhasilan. Di panggung inilah pengunjung dapat menyaksikan pergelaran acara khusus Anjungan yang biasanya merupakan acara-acara pilihan.
Dibandingkan dengan Bali, Jawa lebih terbuka terhadap konstruk waktu linear sebagaimana dikenalkan oleh Islam dan Barat (Lombard, 1996, jilid 2). Ada arah tertentu pada perulangan alur waktu, namun kadang arah ini tidak ditampilkan secara jelas. Meluasnya penggunaan sengkalan/kronogram yang merupakan serangkaian kata atau sebentuk sosok (misalnya Semar atau Togog) yang dapat diinterpretasikan secara numeric sehingga menunjukkan angka tahun merupakan salah satu penanda keinginan untuk menandai sesuatu dalam kerangka waktu yang bergerak maju tapi sekaligus keengganan menampilkan tahun tersebut secara eksplisit sehingga dengan mudah dapat diurutkan sesamanya dan dihitung lintasan yang telah ditempuh. Secara sosial, penerapan kalender dengan kerangka waktu siklikal terbatas penggunaannya terutama pada lingkungan keluarga dan lokalitas tertentu (Anderson, 1990:35n45) sedangkan pada lingkup yang lebih luas dan lebih terbuka terhadap pengaruh luar diatur oleh kalender dengan kerangka waktu linear. Dengan menyangsikan peran kerangka pemahaman waktu linear pada budaya Jawa, Alton Becker (1995:23-70) dengan tegas menyatakan bahwa dalam sistem pemikiran Jawa tatanan ruang (spatial order) lebih diutamakan dalam mengorganisasikan fenomena dibandingkan tatanan waktu (temporal order). Lebih lanjut dia membandingkan antara perkembangan dramaturgi dalam pertunjukan wayang, dan runtutan plot dalam drama ideal menurut Aristoteles yang banyak mempengaruhi teater Barat. Pada ke dua pertunjukan tersebut terdapat rumusan kelengkapan – suatu satuan pementasan haruslah lengkap – namun terdapat perbedaan mendasar di antara keduanya. Perbedaan mendasar antara keduanya adalah tradisi drama Barat menyandarkan rumusan tentang drama yang lengkap pada kausalitas yang dikerangkakan oleh runtun waktu, sementara tradisi drama Jawa berdasarkan pada kebetulan yang dikerangkakan oleh konstelasi ruang. Rumusan karakterisik Jawa tersebut dia paparkan sebagai berikut: “ Suatu lakon wayang, bagaimanapun juga, harus diawali dan diakhiri pada tempat tertentu; dia tidak dapat di awali di sembarang tempat meskipun dapat di sembarang waktu. Dia juga harus melintasi tempat tertentu ditengahnya. Dengan demikian lakon wayang awal, tengah dan akhir yang didasarkan pada ruang ketimbang waktu” (Becker, 1995:41).
Wayang Kulit Kala Bendana :
Dalam konstruk spasial ini, konflik pada lakon wayang terbentuk terutama melalui serangkaian kebetulan untuk menjelaskan mengapa suatu hal terjadi dan pihak-pihak yang berbeda bertemu; suatu landasan yang dijauhi pada plot drama Barat. Sang pahlawan tidak harus memiliki konflik kepentingan dengan lawan-lawannya. Arjuna dan Cakil bertempur semata karena keduanya kebetulan bertemu di jalan tanpa harus terdapat permusuhan karena konflik kepentingan. Kiranya dalam hal ini harus pula diingat bahwa peperangan Arjuna – Cakil tidak bisa dipahami dalam konteks yang amat sederhana, karena sesungguhnya ia mempunyai banyak keterkaitan masalah, termasuk ruang dan waktu. Ia merupakan bagian dari pada yang disebut „perang kembang‟ (kusumayudha) pada episode tengah, Pathet Sanga. Oleh karenanya ia terjadi semasa ‘Gara-gara’. Selain tampilan fisik juga mempunyai makna simbolik, bahwa senantiasa ada „gara-gara’ (godaan, pangrencana) setiap kali tujuan suci diikrarkan dan diusahakan. Secara teknis ia juga merupakan „batu ujian‟ bagi para dalang untuk menampilkan kepiawaiannya dalam memainkan wayang.
Rumusan spasial ini hadir dalam satu set yang lengkap. Becker mendefinisikan rumusan spasial berbasis tiga dalam pentas wayang: adegan pertemuan di balai persidangan agung di awal, adegan di alam pada pertengahan dan perang di akhir. Meskipun persisten struktur dramaturgi ini sangat fleksibel untuk membagi dan mengembangkan lakon. Rumusan kelengkapan serupa kita dapati pada petungan, cara penghitungan yang dipergunakan orang Jawa untuk merumuskan aspek numeric suatu ruang, khususnya ruang domestik. Cara yang juga dipergunakan untuk merumuskan waktu ini didasarkan pada kelengkapan elemen-elemen suatu set yang berulang. Meskipun hasilnya berupa dimensi elemen bangunan, petungan tidak menghasilkan proporsi maupun skala ruang yang tertentu yang dapat dirasakan. Sebagaima na sistem kalender siklikal, petungan menunjukkan ruang macam apa (dan bukan ruang sebesar apa) yang tepat. Yang menjadi perhatian sistem penghitungan ini adalah kesejahteraan yang dipancarkan suatu ruang dan kecocokannya bagi peruntukan tertentu.
Dalam menentukan ukuran elemen bangunan, petungan menggunakan suatu ukuran ragawi dari pemilik bangunan seperti kaki, jengkal, hasta maupun depa. Penggunaan satuan ragawi ini menunjukkan bahwa ruang pada dasarnya adalah ekstensi keberadaan pemiliknya. Karakter suatu bilangan ukuran dapat dirumuskan secara matematis menjadi 5x + n dengan x adalah bilangan pengali manapun dan n adalah konstanta penentu karakter. Karakteristik ruang yang terbentuk sebagaimana dirumuskan dalam konstanta n lebih mementingkan kecocokan guna suatu ruang dengan karakternya dari pada memberikan penilaian positif/negatif. Tidak ada bilangan n yang begitu bagusnya sehingga cocok untuk semua tujuan maupun sebaliknya yang harus selalu dihindari. Bilangan n = 1 yang disimbolkan sebagai Sri yang paling mensejahterakan-pun hanya diperuntukkan bagi rumah belakang tempat penghuni tinggal meskipun bilangan ini memiliki semua karakteristik unggulan.
Dengan menggunakan unit-unit pengukuran antropometrik yang didasarkan pada tubuh pemilik rumah, metode petungan di atas mengindikasikan bahwa ruang yang dihuni pada dasarnya adalah ekstensi tubuh pemiliknya, yang dalam hal ini berhubungan dengan peran dia sebagai penghuni dan penguasa ruang. Petungan ditujukan untuk mencapai kesejahteraan pada suatu ruang, yang dengan demikian akan tercapai bila terbentuk hubungan yang semestinya antara ruang dan kekuasaan yang mengontrolnya. Untuk mengelola suatu teritori, raja-raja Jawa menggunakan cacah – satuan luasan lahan dengan orang yang mengerjakan yang akan memberi hasil tertentu – sebagai unit penghitungan. Suatu ruang akan diperhitungkan jika ada yang mengontrol dan hasil yang diharapkan. Karena dianggap tidak memiliki nilai, lahan yang belum terjamah tidak diperhitungkan. Penguasa Jawa sebenarnya menguasai cacah dalam jumlah tertentu dari pada suatu wilayah utuh dengan batas yang jelas. Pada pembagian kerajaan Mataram menjadi dua di pertengahan abad ke-18, yang dibagi kepada ke dua raja adalah cacah dalam jumlah tertentu yang terserak di berbagai tempat sehingga tidak membentuk satuan luasan wilayah yang utuh yang berbatas jelas. Kewenangan lelaki dalam membentuk ruang dan mengontrol teritori direpresentasikan dalam sejumlah simbolisme phallus (alat kelamin lelaki) yang menunjukkan hubungan yang erat antara kekuasaan dan kesuburan. Di antara pusaka yang disimpan di keraton Surakarta adalah Kyai Cengkal Baladewa yang berupa tongkat pengukur tanah yang dianugerahkan oleh Baginda. Pemberian lahan adalah sepenggal kewenangan kerajaan yang dilimpahkan kepada seseorang yang berjasa. Lahan itu hadiah tapi sekaligus pengikat bagi orang tersebut untuk tetap setia dan patuh sehingga harus mengekspresikan kekuasaan sang pemberi (tanah lungguh atau apanase seorang pejabat bisaanya tidak dapat diwariskan sehingga tetap berada di bawah kewenangan raja). Untuk menunjukkan secara simbolis kekuasaan Baginda atas wilayahnya – yang berarti kemampuannya untuk mengontrol dan menyejahterakan – tongkat Kyai Cengkal Baladewa tersebut berukuran sejauh jarak antara ujung alat kelamin raja dengan jatuhnya air seninya (Pemberton, 1994: 32; Revianto, 2000: 13-14).
Berikut adalah perhitungan Almanak atau Serat Kalang. Sebelum kita membahas masalah tersebut, akan dikutip artikel Rudy Subanindra yang bertajuk „Anakronisme dan Filosofi Kalender Jawa‟ (2000) antara lain tertulis sebagai berikut. Aspek realitas kejadian dengan aspek „inter-kontaminasi’ dimensi falakiah atau getaran sinergi astronomik pada zaman sekarang sering dianggap tidak modern dan rasional. Kasarnya, realitas kejadian sering dianggap tidak ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Ghoib, tetapi lebih ditentukan oleh upaya semata-mata rasional nyata manusia atau bangsa itu sendiri. Analisis ini bukan berarti berkonotasi menafikan „otonomisasi‟ penentu nasib oleh umat atau bangsa itu sendiri. Sebab umat manusia yang lebih mem-panglima-kan rasio dan teknologi cenderung mengesampingkan „Maha Sistem‟ yang selalu secara „ingrated circuit’ berada „latent’ dibalik sistem yang diciptakan manusia. Maka ketika orang Barat mulai jenuh dengan modernitas super teknologi hingga pada gilirannya sebagian pemikirnya menjadi kurang puas dengan batas-atas paradigma realitas dan rasionalitas, kemudian mereka meloncat kembali pada rambahan apresiasi dan analisasi terhadap obyek-obyek fenomenal alam semesta, baik makrokosmik maupun mikrokosmik. Mereka kembali menyadari bahwa sehat dan waras raga saja tidak cukup untuk memberikan pre-agregasi anatomis manusia untuk bisa hidup, sadar, gerak, merasa dan berpikir. Jelas bahwa pre-agresasi „jagad cilik’ saja masih sedemikian misterius. Belum lagi otomatisasi tata surya dan angkasa. Maka orang Barat kini mulai kembali menyadari tentang masih membahananya jurang anakronisme kebudayaan Barat terhadap komprehensi filosofi „Mamayu Hayuning Bawana’. Anakronisme disini dimaknai sebagai wahana cipta, rasa, akal, dan wacana perilaku yang ‘keconthalan’ (terbirit-birit) atau sebaliknya „kebat kliwat’ (terlalu cepat, hingga kelewatan) dalam menyikapi irama keseimbangan alam semesta dan kultur global dalam masing-masing konteksnya. Namun anehnya dalam lingkup budaya kita sendiri, holisme komprehensi yang sebetulnya justru telah diawali oleh Sultan Agung dengan penciptaan Kalender Jawa dengan berbagai penetapan valensi variable waktu (neptu, titi dan mongso), ternyata justru banyak ditinggalkan oleh orang Jawa yang sebagian masih ‘kemaruk’ dan gandrung (tergila-gila) modernitas. Super interaksi alami dalam „mekanisme‟. Segala zat dalam aransemen alam semesta sesungguhnya sudah sedemikian rupa diciptakan sejak awal oleh Yang Maha Khalik. Segala ciptaan teknologi „Barat‟, sesungguhnya merupakan pengejawantahan realitas dari sifat-sifat kesemestaan yang telah ada. Hal ini bisa kita saksikan dalam karya-karya teknologi dan elektronika sampai masa kini, misalnya: energy listrik, energy nuklir, sistem radio, televisi, pesawat terbang, sistem komputer dan sebagainya. Maka, meskipun segala segi „rahasia alam‟ seolah sudah ter-ejawantah dalam teori ilmu teknologi dan ilmu-ilmu lain, tetapi sejuta medan variable yang menantang dalam misteri alam semesta tentu dirasakan sungguh masih sangat luas, bahkan tetap tak terhingga. Inilah kemahaan kehidupan sekaligus misterinya. Itulah pula sebabnya dunia gambling, baik di bidang politik, keuangan, ekonomi, perdagangan ataupun kemajuan-kemajuan umat manusia sampai ke teknologi perang bintang, berbagai rekayasa bio-teknologi, cloning, senjata nuklir, penerbangan ke luar angkasa, penelitian ke planit lain dan sebagainya, masih terus dikembang-citakan. Sebaliknya, berbagai kejadian ‘meta-rasional’ agaknya juga kembali mulai actual, diperhatikan dan diteliti secara lebih bersemangat oleh dunia Barat. Berbagai contoh gejala itu bisa kita saksikan lewat televisi. Peluang penelitian yang agaknya belum mampu diperhatikan sampai sekarang secara „adequate‟ deskriptif epistemologis (ilmiah metodologis) & ontologis (jabaran rasional dengan rujukan tata astronomi semesta) adalah: Bahwa dimensi falakiah dan astronomik dalam lingkup makrokosmos kesemestaan, pasti memiliki daya dampak terhadap seluruh supra, mid dan subsistem gerak-gerik unsur-unsur mikrokosmos alam semesta seisinya. Termasuk terhadap gejolak temperasi sensitivitas kita, peaking, konjungsi psikologis, passing intelegensia, momentum hadirnya screen indera keenam dan sebagainya. Hal ini bisa terjadi lantaran kita adalah umat ciptaan-Nya yang paling sempurna dan dimuliakan-Nya sekaligus penuh misteri, disbanding flora, fauna dan makhluk lainnya.
Ilham Sultan Agung, Raja Mataram ke-III sebagai pencipta Tarikh Jawi, ilham Raja Numa Pompilus dan Kaisar Yulius selaku Pontifex Maximus sebagai pencipta Tarikh Romawi Kuno, ilham Paus Gregorius VIII sebagai pendekrit koreksi Tarikh Masehi 1582, ilham Kanjeng Sinuhun Paku Buwana VII dalam mencipta Pranotomongso Jawi, ilham filsuf Kong Hu Cu (Confusius) dalam menciptakan Tarikh Imlek dan sebagainya, tentu bukan ilham wantahan (vulgar). Tarikh sebagai suatu sistem pegangan waktu bagi berbagai umat, tentulah diciptakan/didekritkan setelah proses „ilham‟ yang sudah transcendental ke alam „dimensi ke-4‟, serta melalui kecanggihan akurasi ataupun sofistikasi pemikiran dan perhitungan-perhitungan astronomic dan sangat makrokosmis, serta didorong oleh „radiasi para energi doyo linuwih‟ (RPEDL) tertentu. Sebab, seperti diketahui pada setiap model ciptaan tarikh atau pada sistem Penanggalan, selalu saja diikuti oleh berbagai „suplemen‟ rincian berdimensi ‘astrofalakiah’. Sebagai misal, pada lingkup sistem tarikh Masehi, akan kita dapati Astrologi, Palmistry dan lain-lain. Pada Tarikh Imlek, maka hitungan falakiah ramal-penujuman PATKWA ciptaan Raja Hok Hi (Fu Hsi) ternyata sudah dipergunakan sejak 59 abad yang lalu. Maka „suplemen‟ Tarikh Jawi, juga bukan main komplitnya. Mungkin bahkan yang paling komplit. Hal ini bisa kita simak dalam berbagai Primbon Jawi. Berbeda dengan tingkat epistemology dan ontology pada dimensi penciptaan sistem Tarikh, maka dimensi penciptaan „suplemen-suplemen‟ ini justru tampak lebih misterius, dis-epistemologik dan bahkan dis-ontologik. Kita ambil contoh misalnya dalam „suplemen‟ Tarikh Jawi. Unsur daur HARI dan PASARAN di dalam Primbon Jawi itu telah diberi index atau valensi yang biasa disebut NEPTU. Dengan demikian setiap masing-masing HARI dan masing-masing PASARAN telah diberi valensi-valensi tertentu oleh ‘legenda’. Meskipun sudah ada rujukan rasionalisasi tentang perhitungan ketemunya formulasi legenda NEPTU, tetapi agaknya belum legitimatif secara keilmiahan karena belum pernah terjadi apresiasi antar para pakar Tarikh Jawi untuk menjumbuhkan (menyesuaikan) epistemoloi dan ontology deskripsinya secara „legitimate‟.